Gadis penuh semangat ini memang berasal dari keluarga miskin. Ibunya,
I Nengah Kirem, 52 tahun, sudah bertahun-tahun menderita sakit ginjal.
Untuk membantu ekonomi keluarga, sepulang sekolah pelajar SMP Negeri 2
Abang, Karangasem, ini berjualan kue jajanan sambil sesekali memungut
barang bekas di sekitar pantai Kadang.
Hingga suatu ketika, ia bertemu turis asal Belanda, Dolly Amarhosoija. Si turis memberinya sebuah buku berisi kisah inspiratif The Diary of Anne Frank, yang kemudian menginspirasi Ni Wayan untuk terus semangat meraih cita-citanya.
Tak cuma buku, Ni Wayan juga dipinjami kamera foto milik Dolly. Dia
membuat 15 foto dengan kamera itu. Jepretan terakhirnya adalah sebuah
potret pohon ubi karet dengan dahan tanpa daun yang tumbuh di depan
rumahnya. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan, serta handuk
berwarna merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya.
Hasil “jepretan” Ni Wayan kemudian didaftarkan oleh Dolly pada lomba
foto internasional yang diadakan Yayasan Anne Frank di Belanda,yang
diikuti 200 peserta dengan tema “Apa Harapan Terbesarmu”.
Tak dinyana, foto sederhana itu memikat 12 fotografer kelas dunia
dari World Press Photo yang menjadi juri lomba foto internasional 2009,
yang digelar Yayasan Anne Frank di Belanda. Ketika ditanya tentang
Fotonya, Wayan menjelaskan, ayam itu simbolisasi diri dan kehidupannya.
“Ayam itu kalau panas kepanasan, hujan kehujanan. sama seperti saya,”
ujarnya.
Dia mengaku punya puluhan ayam dan bebek serta beberapa ekor kambing.
Ayam-ayamnya pun dibiarkan berkeliaran tak dikandangkan. Terkadang
Wayan harus menyabit rumput untuk memben makan kambingnya sebelum
berjualan. Namun, di sela kehidupan keras yang dilaluinya, Wayan biasa
meluangkan waktu dengan membaca di perpustakaan milik Marie Johana
Fardan, tetangganya yang warga Belanda pemilik vila Sinar Cinta di
Pantai Amed.
“Sudah dua tahun dia menjadi langganan tetap perpustakaan. Dia
menyukai buku Anne Frank itu,” ujar Marie, yang mengantar Wayan dan
adiknya, Ni Nengah Jati, terbang ke Belanda.
Negeri Kincir Angin menjadi tempat pertama Wayan mengenal dunia di luar Bali.
Wayan mengaku senang bisa menjejakkan kaki di Belanda, yang menurut dia
bersih, ramai, meski cuacanya kurang bersahabat. “Senang tapi
makanannya tidak enak, mentah-mentah. Lebih enak jajanan saya,” ujarnya
disambut tawa hadirin.
Dari Yayasan Anne Frank, Wayan menerima hadiah berupa kamera saku dan
sebuah komputer jinjing dari Radio Netherlands Wereldomroep.
Rencananya, jika Yayasan Anne Frank mengadakan acara di Bali, dia akan
diundang untuk memamerkan foto-fotonya. Radio Netherlands juga
menawarkan tempat untuk Wayan mengirim cerita pendek atau
tulisan-tulisannya untuk disiarkan.
Wayan berharap bisa menyelesaikan sekolah dan mewujudkan cita-citanya
menjadi jumalis. “Saya ingin membahagiakan ibu saya,” ujarnya sendu.
Matanya bulat menerawang. Dia sangat sadar kemiskinan mengancam
kelanjutan pendidikannya. “Anne Frank lebih susah hidupnya. Jika dia tak
mengeluh, saya juga seharusnya tidak,” ujarnya kemudian.
0 comments:
Post a Comment